Oleh Dr. Nimatul Masruroh,SEI,MEI Dosen Ekonomi Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Pernyataan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, akhir-akhir ini menuai kontroversi. Pernyataan yang berkaitan dengan penyamaan antara zakat dan pajak. Sri Mulyani menyatakan bahwa ada hak orang lain yang harus dikeluarkan dari harta milik kita, yaitu berupa zakat dan pajak. Terma ini tentu saja berbeda, berbagai komentar dan kajian pun bermunculan setelah pernyataan kontroversial ini viral di media sosial. Kita harus menengok kembali, kontekstualisasi keduanya di negara Indonesia yang notabene mayoritas berpenduduk Muslim, namun selain membayar zakat juga wajib membayar pajak.
Ada pengeluaran lain di luar zakat dan pajak yaitu infak, shadaqah dan wakaf yang merupakan pengeluaran bersifat sunnah, sedangkan pajak boleh dikeluarkan sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah. Selama ini dalam konteks Indonesia zakat dan pajak selalu dijadikan kontradiksi, artinya sebagian mengatakan bahwa muslim Indonesia cukup membayar zakat saja, namun ada yang mengatakan harus membayar keduanya.
Dalam hal ini sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi yang beragama Islam dan/atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Melalui peraturan ini, maka zakat bisa menjadi pengurang pajak asalkan dibayarkan melalui lembaga resmi yang sudah dilegalkan seperti BAZNAS atau LAZNAS. Hal ini diberlakukan dalam rangka mengakomodir kontradiksi zakat dan pajak yang terus berkepanjangan. Sehingga, kebijakan ini menjadi jalan tengah bagi kaum Muslim. Hanya saja persoalannya, Muslim Indonesia rata-rata tidak membayar zakatnya melalui lembaga resmi yang telah ada, mereka lebih memilih membayarkan zakatnya secara langsung kepada mustahik, melalui takmir masjid dan kiai kampung setempat. Hal inilah yang menjadikan dana zakat belum optimal dikelola secara produktif oleh BAZNAS atau LAZNAS sehingga belum memiliki dampak pada pengentasan kemiskinan.
Tentu saja hal ini berbeda dengan pajak yang secara formal dibayarkan satu pintu melalui kantor perpajakan, baik secara online maupun offline. Pajak merupakan pungutan wajib kepada seluruh warga, dalam konteks Indonesia kepada seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali. Ada berbagai macam skema pajak yang dilaksanakan oleh pemerintah, seperti Pajak Bumi Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta jenis pajak yang lainnya. Pajak diwajibkan dalam rangka menaikkan pendapatan negara. Semakin tinggi pajak, maka pendapatan negara semakin meningkat.
Kedua istilah ini sangatlah berbeda, peruntukan zakat hanya untuk 8 golongan saja (mustahik) sedangkan pajak digunakan untuk pembangunan negara serta pengeluaran lain yang berhubungan dengan pengeluaran negara. Secara filosofis keberadaan zakat dan pajak ini sangat berbeda. Pajak pada masa Rasulullah hanya dikenakan kepada non musliam yang hidup di negara muslim, sedangkan para muslim hanya membayar zakat sesuai ketentua yang ada.
Fenomena pajak yang meningkat baik terjadi di Pusat maupun di daerah-daerah, menyuguhkan fakta bahwa pendapatan Indonesia masih sangat tergantung pada pajak. Belum ada sumber pendapatan lain yang lebih besar daripada pajak. Berbagai kebijakan pemerintah diberikan agar masyarakatnya menjadi masyarakat yang taat pajak. Pernah dikeluarkan kebijakan tax amnesty untuk membawa pulang pajak-pajak yang biasanya dikeluarkan ke luar negeri agar bisa meningkatkan pendapatan melalui pajak. Namun, kebijakan tersebut tidak bertahan lama, karena ternyata persoalan pajak bukan hanya karena kewajiban warga terhadap negaranya, tetapi seharusnya lebih pada kecintaan pada negaranya. Sehingga membayar pajak bukan karena ketakutan kepada sanksi tetapi benar-benar lahir dari kesadaran pribadi.
Ketika saat ini, pajak ada yang menyandingkan dengan zakat tentu dua kewajiban ini sangat berbeda. Sebagaimana disampaikan di atas, bukan hanya dalam hal pengertiannya tetapi juga peruntukan dan besarannya, serta masa pembayarannya. Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, pajak merupakan kontribusi wajib yang harus dipenuhi oleh setiap individua atau baran hukum kepada negara. Bersifat memaksa sesuai aturan dan hukum yang berlaku. Tidak ada imbalan langsung dari pajak yang diberikan serta digunakan untuk keperluan negara dalam memakmurkan bangsa.
Sedangkan zakat merupakan kewajiba setiap muslim yang memiliki harta lebih dari 1 nishab dan 1 haul. Menurut M. Arief Mufraini (2012) karakteristik nishab berbeda-beda sesuai dengan jenis harta yang wajib dizakati, seperti nishab pada hasil pertanian dan perkebunan adalah 5 sha’ yang sepadan dengan 50 kailah atau 633 kg, sedangkan nishab pada zakat aktiva keuangan adalah 200 dirham atau 85 gram emas. Kadar nishab ditentukan pada akhir tahun dengan ketentuan harga pasar. Sedangkan haul dimaknai satu tahun kepemilikan penuh, artinya tidak setiap ada pemasukan wajib dikeluarkan zakat tetapi harta harus dimiliki penuh selama satu tahun.
Peruntukan zakat sangat jelas sesuai dengan al Qur’an surat at Taubah ayat 60, yaitu untuk 8 golongan diantaranya, fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, ibnu sabil dan fisabilillah. Dalam konteks Indonesia, peruntukannya mayoritas pada golongan pertama dan kedua yaitu fakir miskin. Sedangkan pajak, bisa digunakan untuk apa saja selama berguna bagi kepentingan negara. Berdasarkan fenomena akhir-akhir ini, seharusnya kita sebagai muslim cukup membayar zakat, namun zakat harus dikelola secara produktif, transparan dan akuntabel, baru zakat bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Tetapi dengan berbagai kasus korupsi yang melanda di negara ini, masih percayakah masyarakat kepada lembaga negara, apalagi dalam mengelola zakat yang sangat sakral bagi kaum Muslim?
Wallahu a’lam