Anatomi PBB-P2: Dari Filosofi Pajak hingga dampak pada Ekonomi Lokal

·

·

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) bagi banyak orang hanyalah selembar surat tagihan tahunan yang tiba di rumah. Nilainya kadang dianggap kecil dibandingkan pajak penghasilan atau pajak kendaraan. Namun di balik angka sederhana yang tercetak pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) itu, terdapat dimensi yang jauh lebih luas—sebuah filosofi yang menempatkan pajak sebagai wujud kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Gagasan kontrak sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau, menegaskan bahwa warga menyerahkan sebagian hak ekonominya untuk membiayai layanan publik dengan imbalan pemerintah mengelola dana tersebut demi kesejahteraan bersama. Pajak bukan sekadar pungutan, melainkan simbol partisipasi kolektif dalam membiayai kehidupan bersama.

PBB-P2 termasuk dalam kategori pajak atas kepemilikan kekayaan tak bergerak. Filosofi dasarnya bertumpu pada benefit principle, yaitu mereka yang mendapat manfaat lebih besar dari infrastruktur dan layanan publik di sekitarnya wajar membayar lebih banyak. Prinsip ini selaras dengan teori keadilan fiskal Musgrave (1959), yang menekankan keadilan vertikal—mereka yang memiliki kemampuan lebih besar membayar lebih banyak—dan keadilan horizontal—mereka yang memiliki kondisi serupa membayar jumlah yang sama. Dalam konteks PBB-P2, nilai properti menjadi proksi manfaat: rumah yang berada di jalan strategis, dekat fasilitas umum, atau di kawasan komersial akan memiliki nilai jual lebih tinggi dan karenanya dikenakan pajak lebih besar.

Namun, filosofi ini hanya akan diterima masyarakat jika ada kesesuaian antara biaya sosial dan manfaat sosial yang dirasakan. Dalam literatur ekonomi publik, kesesuaian ini dikenal sebagai willingness to pay (WTP), yaitu tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak berdasarkan persepsi mereka terhadap nilai barang atau jasa publik yang dibiayai dari pajak tersebut. WTP akan tinggi jika manfaat publik terlihat nyata—misalnya perbaikan jalan, drainase yang berfungsi baik, taman kota yang terawat, atau penerangan jalan yang memadai. Sebaliknya, jika manfaatnya tidak jelas atau tidak dirasakan langsung, WTP akan menurun, memicu resistensi bahkan mendorong perilaku menghindari pajak (tax evasion).

Sejak desentralisasi fiskal melalui UU No. 28 Tahun 2009, kewenangan pengelolaan PBB-P2 beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota. Menurut teori desentralisasi fiskal Oates (1972), pemerintah daerah diharapkan lebih memahami kondisi sosial-ekonomi dan kemampuan bayar warganya. PBB-P2 pun menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang stabil karena berbasis aset tetap. Namun, di sejumlah daerah, penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dilakukan secara agresif untuk mengejar target PAD. Secara teori, penyesuaian NJOP mengikuti perkembangan pasar properti memang wajar, tetapi jika dilakukan tanpa perbaikan layanan publik, hal ini menurunkan WTP dan mengikis legitimasi kebijakan. Teori Public Choice dari Buchanan dan Tullock (1962) menjelaskan bahwa keputusan fiskal terkadang lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik dan fiskal pemerintah daripada kebutuhan riil masyarakat.

Tarif PBB-P2 secara nasional dibatasi maksimal 0,3 persen dari NJOP, tetapi penentuan zona nilai tanah dan bangunan menjadi wewenang daerah. Di wilayah yang mengalami pertumbuhan pesat, NJOP bisa melonjak tajam dan menghasilkan “pajak atas unrealized gain”—kenaikan nilai aset di atas kertas tanpa memberikan keuntungan nyata bagi pemiliknya. Fenomena ini sering menimpa warga yang sudah lama tinggal di suatu kawasan yang kemudian berkembang menjadi area komersial. Misalnya, seorang pensiunan yang pendapatannya tetap bisa saja mendapati beban PBB-P2 yang melonjak drastis hanya karena harga tanah di sekitarnya naik, meskipun ia tidak menikmati keuntungan langsung dari kenaikan itu. Kondisi seperti ini biasanya menurunkan WTP karena beban pajak dipersepsikan tidak adil.

Dari sudut pandang ekonomi makro, PBB-P2 berperan penting sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah. Peningkatan infrastruktur yang dibiayai pajak ini dapat mendorong produktivitas, memperlancar arus barang dan jasa, meningkatkan daya tarik investasi, dan menciptakan efek berganda (multiplier effect) bagi perekonomian lokal. Namun dari sudut pandang mikro, beban pajak yang tidak seimbang dengan WTP dapat mengurangi daya beli rumah tangga, menekan konsumsi, dan dalam jangka panjang menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Pendekatan behavioral public finance yang dikemukakan Congdon et al. (2011) menunjukkan bahwa persepsi ketidakadilan dalam beban pajak dapat memengaruhi perilaku konsumsi, investasi rumah tangga, bahkan kepatuhan pajak.

Kunci untuk menjaga WTP terletak pada transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak. Teori legitimasi fiskal Levi (1988) menyatakan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat ketika warga percaya bahwa pemerintah mengelola dana dengan adil dan manfaatnya kembali kepada masyarakat. Beberapa daerah di Indonesia telah membuktikan bahwa mempublikasikan proyek-proyek yang dibiayai dari PBB-P2, lengkap dengan papan informasi dan laporan kemajuan, dapat meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus WTP masyarakat. Hubungan sebab-akibat ini jelas: ketika warga melihat langsung bahwa uang pajak digunakan untuk memperbaiki jalan di depan rumah mereka atau membangun fasilitas yang mereka nikmati setiap hari, rasa keberatan berkurang dan kemauan membayar meningkat.

Membedah anatomi PBB-P2 berarti melihatnya sebagai gabungan antara filosofi pajak, realitas politik fiskal, dan psikologi sosial masyarakat. Filosofinya berangkat dari prinsip keadilan dan manfaat bersama. Realitasnya menunjukkan tantangan dalam penyesuaian NJOP, penentuan tarif, dan pengelolaan PAD. Psikologinya terletak pada WTP, yang menjadi indikator sejauh mana kebijakan fiskal selaras dengan kebutuhan dan persepsi masyarakat. Selama pemerintah daerah mampu menjaga keseimbangan antara beban pajak dan manfaat publik yang nyata, PBB-P2 dapat menjadi bukan hanya sumber pendanaan pembangunan, tetapi juga simbol kepercayaan sosial yang memperkuat pondasi pembangunan berkelanjutan.