Membaca Dua Sisi Kenaikan PBB-P2 Banyuwangi: Analisis Behavioral Economic

·

·

Suatu malam pengajian warga berjalan seperti biasa. Agenda awalnya sederhana—membicarakan persiapan lomba 17 Agustusan. Namun, suasana mendadak berubah ketika Ketua RT membuka Tiktok tentang tahun ini  Pemerintah Kabupaten Banyuwangi akan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Seketika, bisik-bisik berubah menjadi suara protes. Ada yang spontan menepuk meja, ada yang menggeleng tak percaya, dan ada pula yang langsung menghitung berapa tambahan yang harus dibayar. “Kok naiknya sampai ? Jalan depan rumah masih kayak kubangan,” celetuk seorang bapak dari barisan belakang. Dalam hitungan menit, obrolan tentang lomba balap karung berubah menjadi debat panas soal keadilan pajak.

Bagi sebagian warga, alasan pemerintah menaikkan PBB-P2 terdengar masuk akal. Dana tambahan pajak bisa digunakan untuk membiayai perbaikan jalan, penerangan umum, atau pembangunan fasilitas sosial lainnya. Dalam kerangka logika fiskal, langkah ini terlihat rasional: semakin besar pendapatan daerah, semakin banyak program pembangunan yang bisa dilaksanakan. Namun, di sisi lain, ada serangkaian kontra-argument yang membuat sebagian masyarakat merasa kebijakan ini kurang tepat, atau setidaknya, tidak bijaksana jika diterapkan sekarang.

Pertama, kenaikan pajak sering kali tidak mempertimbangkan daya beli masyarakat yang sedang melemah. Di banyak daerah, perekonomian warga belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Harga kebutuhan pokok melonjak, biaya pendidikan anak meningkat, sementara pendapatan rumah tangga stagnan atau bahkan menurun. Dalam kondisi seperti ini, kenaikan pajak dapat dipersepsikan sebagai beban tambahan yang menggerus konsumsi domestik. Secara makro, hal ini berpotensi menghambat perputaran ekonomi lokal, karena uang yang seharusnya dibelanjakan di pasar justru tersedot untuk kewajiban pajak.

Kedua, muncul persoalan persepsi keadilan fiskal. Banyak warga bertanya-tanya, “Mengapa pajak harus naik jika pelayanan publik di sekitar belum membaik?” Jalan yang rusak, drainase yang buruk, dan fasilitas umum yang minim membuat kenaikan pajak terasa seperti meminta uang lebih tanpa memberikan timbal balik yang jelas. Dalam perspektif behavioral economics, hal ini terkait erat dengan konsep perceived fairness. Jika warga merasa tidak mendapatkan manfaat yang setimpal, resistensi terhadap pajak akan menguat, bahkan meskipun kenaikan tersebut secara nominal tidak besar.

Ketiga, kenaikan PBB-P2 dapat memicu efek psikologis negatif yang jauh lebih besar dibandingkan manfaat fiskal yang diharapkan. Fenomena loss aversion—yang dijelaskan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky—menunjukkan bahwa manusia cenderung lebih fokus pada kerugian yang dialami daripada keuntungan yang diperoleh. Tambahan seratus ribu rupiah pada tagihan pajak dapat menimbulkan rasa kehilangan yang mendalam, sementara manfaat pembangunan yang dijanjikan, jika tidak langsung terlihat, sering kali dianggap tidak nyata. Jika pemerintah gagal mengelola komunikasi publik secara efektif, kebijakan ini dapat memperburuk ketidakpercayaan warga terhadap institusi, dan rasa tidak percaya itu sulit untuk dipulihkan.

Keempat, dari sisi perilaku ekonomi daerah, kenaikan pajak tanpa diimbangi dengan insentif atau transparansi penggunaan dana berisiko mendorong munculnya perilaku menghindari pajak (tax avoidance) atau menunda pembayaran. Dalam jangka panjang, ini justru dapat menurunkan efektivitas kebijakan dan menggerus penerimaan pajak. Dalam bahasa behavioral economics, ketidakjelasan tujuan dan hasil penggunaan pajak akan menurunkan tax morale—motivasi warga untuk patuh membayar pajak secara sukarela.

Kelima, kebijakan menaikkan pajak tanpa mempertimbangkan sumber pendapatan alternatif bisa mencerminkan kurangnya inovasi fiskal. Pemerintah daerah sebenarnya memiliki peluang untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui berbagai cara: mengoptimalkan aset daerah, mendorong pengembangan sektor pariwisata, atau menjalin kemitraan investasi publik-swasta. Jika opsi-opsi ini tidak digali terlebih dahulu, kenaikan pajak akan cenderung dipandang sebagai langkah instan yang membebani warga, bukan sebagai bagian dari strategi fiskal jangka panjang yang visioner.

Di balik semua itu, penting untuk dipahami bahwa penolakan terhadap kenaikan PBB-P2 bukan semata bentuk sikap anti-pajak. Ia lahir dari kombinasi faktor: realitas ekonomi yang dihadapi warga sehari-hari, persepsi terhadap keadilan distribusi manfaat, dan tingkat kepercayaan pada pemerintah yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu. Tanpa mengaddress faktor-faktor ini, kebijakan kenaikan pajak—betapapun rasional secara fiskal—akan sulit diterima secara sosial. Maka, jika pemerintah ingin kebijakan ini berjalan tanpa gejolak, pendekatan komunikasi yang menggabungkan transparansi, empati, dan strategi nudge menjadi penting. Warga perlu diyakinkan bahwa kenaikan PBB-P2 bukan sekadar angka di tagihan tahunan, melainkan investasi bersama yang manfaatnya nyata dan merata. Hanya dengan cara itu, panasnya perdebatan di rapat RT atau warung kopi bisa mereda, berganti dengan kesadaran kolektif bahwa pajak adalah bagian dari gotong royong modern yang membiayai kehidupan bersama.