Bersikap Adil kepada Ahmad Syahroni

·

·

Oleh : M.Iqbal Fardian

Ahmad Syahroni kerap menjadi sosok yang ramai diperbincangkan. Julukan Crazy Rich Tanjung Priok melekat erat pada dirinya, membuat banyak orang terjebak pada stereotip: politisi dengan gaya hidup glamor, ucapan yang kadang kontroversial, dan simbol kemewahan di tengah keresahan sosial. Tak heran, ketika ia mengeluarkan pernyataan yang yang bernada merendahkan masyarakat, publik segera menumpahkan kritik, bahkan hujatan. Beberapa perilaku  politisi atau pejabat negara lainnya seperti Sri Mulyani, Uya Kuya, Nafa Urbach juga tidak luput dari sentiment negative masyarakat.

Puncaknya, rumah pribadinya dijarah, aib keluarganya dibuka di ruang publik, dan dirinya diseret dalam kriminalisasi opini. Namun jika ditelusuri lebih dalam, ada yang terlewat dari cara kita menilai peristiwa ini. Sesungguhnya, kemarahan publik tidak lahir semata-mata karena gaya bicara atau gaya hidup Syahroni, melainkan karena kondisi sosial-ekonomi yang lebih luas. Pemerintah sedang gencar melakukan pungutan pajak yang dianggap memberatkan masyarakat. Situasi ini menimbulkan keresahan, kecurigaan, dan rasa ketidakadilan. Di tengah kondisi seperti itu, publik membutuhkan figur untuk menyalurkan kemarahan. Dengan statusnya sebagai politisi kaya raya, Syahroni pun menjadi kambing hitam yang mudah diserang.

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui Scapegoating Theory (teori kambing hitam) yang dikemukakan René Girard (1986), yang menyatakan bahwa masyarakat dalam kondisi frustrasi cenderung melampiaskan kekerasan simbolik maupun fisik pada individu tertentu sebagai representasi masalah. Setelah figur simbolik ditentukan, terjadilah proses pengorbanan. Sosok tersebut mulai dituduh, diekspos kelemahannya, bahkan dihukum secara sosial. Penghinaan di media, serangan di ruang publik, hingga penghakiman moral sering kali diarahkan kepadanya. Semua itu dilakukan bukan semata-mata karena kesalahannya, tetapi karena ia dipandang sebagai saluran yang paling mudah untuk meredakan ketegangan. Tahap terakhir adalah munculnya legitimasi sosial.

Setelah figur dikorbankan, masyarakat merasa beban emosionalnya berkurang. Ada perasaan lega karena kemarahan seolah sudah menemukan sasaran. Namun, akar persoalan sebenarnya—entah itu kebijakan yang tidak adil, kesenjangan ekonomi, atau krisis sosial—tetap tidak terselesaikan. Dalam kasus ini, Syahroni dijadikan simbol ketidakpekaan elit terhadap penderitaan rakyat, padahal akar persoalan ada pada kebijakan pajak pemerintah yang menekan. Kritik terhadap Syahroni sah adanya, tetapi ketika kritik itu melebar menjadi pembenaran atas penjarahan rumah, pembukaan aib keluarga, bahkan kriminalisasi, maka sesungguhnya kita sedang melupakan sumber masalah yang lebih penting.

Habermas (1989) dalam teorinya tentang ruang publik menekankan bahwa diskursus politik seharusnya dijalankan secara rasional dan deliberatif, bukan didorong oleh kebencian atau sentimen personal. Sayangnya, diskursus tentang Syahroni lebih sering berputar pada citra personal ketimbang substansi kebijakan. Sementara itu, John Rawls (1971) dalam A Theory of Justice menegaskan bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan jika hak dasar setiap orang dilindungi. Itu berarti, meskipun Syahroni adalah figur politik kontroversial, ia tetap berhak atas perlindungan hukum, keamanan keluarganya, dan penghormatan atas privasi.

Maka, bersikap adil kepada Ahmad Syahroni bukan berarti menutup mata atas pernyataan kontroversial ucapannya, tetapi mengembalikan persoalan pada konteks yang sebenarnya. Kritik publik seharusnya diarahkan pada transparansi dan keadilan kebijakan pajak pemerintah, bukan pada penghakiman personal. Menjadikan Syahroni sebagai sasaran utama hanya akan membuat kita sibuk menguliti individu, sementara problem struktural—seperti ketimpangan social, pungutan pajak yang tidak dirasakan adil— teralihkan bahkan tak tersentuh.

Dengan kata lain, adil kepada Ahmad Syahroni dan kawan-kawan berarti menolak menjadikannya kambing hitam. Demokrasi yang sehat menuntut kritik diarahkan pada kebijakan yang melahirkan ketidakadilan, bukan sekadar melampiaskan kebencian kepada figur yang mudah diserang. Jika kita ingin jujur, masalah utama bukanlah Ahmad Syahroni dengan gaya bicaranya, melainkan kegagalan pemerintah menjelaskan dan mengelola kebijakan pungutan pajak secara adil kepada rakyat.

Karena itu, penyelesaian persoalan ini tidak cukup berhenti pada menghakimi figur Syahroni, Uya Kuya dan Nafa Urbach. Akar masalahnya adalah kelembagaan pungutan pajak yang dipersepsikan tidak adil, tidak transparan, dan jauh dari partisipasi rakyat. Solusi kelembagaan diperlukan agar konflik semacam ini tidak terus berulang. Mekanisme pajak harus dibangun di atas asas transparansi dengan kanal informasi yang mudah diakses masyarakat. Forum partisipatif seperti public hearing perlu diperkuat agar kebijakan pajak tidak sekadar turun dari atas, melainkan lahir dari dialog dengan rakyat. Di samping itu, lembaga pengawasan independen harus memastikan pungutan benar-benar sesuai dengan asas keadilan, bukan sekadar beban baru yang menambah ketidakpercayaan publik.

Karena itu, penyelesaian persoalan ini tidak cukup berhenti pada menghakimi figur Syahroni. Akar masalahnya adalah kelembagaan pungutan pajak yang dipersepsikan tidak adil, tidak transparan, dan jauh dari partisipasi rakyat. Di banyak negara, masalah ini ditangani dengan pembentukan lembaga pengawasan khusus. Di Inggris, misalnya, terdapat Taxpayer Advocate Service yang berfungsi menjadi jembatan antara otoritas pajak dan warga, memastikan keluhan masyarakat terselesaikan secara cepat. Di Swedia, sistem pajaknya dikawal oleh Tax Ombudsman yang independen, sehingga warga memiliki ruang legal untuk menggugat kebijakan yang dirasa tidak adil. Sementara di Korea Selatan, setiap rencana kenaikan pajak wajib melalui forum konsultasi publik yang terbuka dan disiarkan secara transparan, sehingga warga merasa memiliki suara dalam proses kebijakan.

Indonesia bisa belajar dari praktik kelembagaan tersebut. Pembentukan Ombudsman Pajak atau Komisi Transparansi Pajak di tingkat nasional maupun daerah akan memperkuat akuntabilitas sekaligus menyalurkan keresahan masyarakat ke jalur yang benar. Dengan mekanisme seperti itu, publik tidak lagi merasa kebijakan pajak dipaksakan dari atas, melainkan lahir dari proses dialog. Dengan memperkuat kelembagaan pajak dan meningkatkan kapasitas komunikasi para legislator, ruang publik dapat kembali sehat: kritik diarahkan pada kebijakan, bukan pada serangan personal. Syahroni tetap dapat dikritik bila ia keliru, tetapi ia tidak lagi dijadikan kambing hitam untuk menutupi kegagalan struktural. Bersikap adil kepadanya berarti mengembalikan fokus pada masalah utama, yakni memastikan sistem pajak dikelola secara transparan, partisipatif, dan berkeadilan, sekaligus menuntut para anggota DPR RI agar berbicara dengan akal sehat, diplomasi, dan tanggung jawab.