Oleh: Dr. Mochamad Rizal Umami – Inkubator Bisnis Politeknik Negeri Jember & Economica Institute
Tahun 2025 kembali membuka babak baru dalam ironi sektor pergulaan nasional. Di satu sisi, pemerintah masih melanjutkan kebijakan impor gula dengan alasan menjaga stabilitas harga dan pasokan untuk kebutuhan masyarakat. Namun di sisi lain, kenyataan di lapangan menunjukkan sesuatu yang sangat berbeda: gudang-gudang pabrik gula penuh dengan stok gula petani yang tak terserap di pasaran. Fenomena ini memperlihatkan adanya jurang antara kebijakan di atas kertas dan realita di lapangan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Januari 2025 saja impor gula sudah mencapai 308.780 ton dengan nilai sekitar US$162,8 juta atau setara Rp2,64 triliun. Angka yang cukup besar untuk komoditas yang sejatinya bisa dipenuhi dari dalam negeri bila tata kelolanya baik. Sementara itu, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) mencatat stok gula hasil giling petani yang tidak laku di lelang sudah menembus 100.000 ton per Agustus 2025. Bahkan di Jawa Timur, HKTI melaporkan stok gula di gudang pabrik mencapai 268.340 ton, jumlah yang fantastis dan mencerminkan lemahnya daya serap pasar.
Mari kita lihat lebih detail. Di Bondowoso dan Situbondo, gula menumpuk hingga puluhan ribu ton. Data mencatat PG Pradjekan menyimpan 11 ribu ton, PG Asembagus 11 ribu ton, PG Panji 2.500 ton, dan PG Wringinanom 3.950 ton. Bahkan di Bondowoso, penjualan lewat lelang sudah dilakukan tujuh kali, tetapi tetap gagal. Alhasil, 12.301 ton gula masih teronggok di gudang per 18 Agustus 2025, membuat petani merugi hampir Rp900 miliar. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cerminan dari derita petani yang harus menanggung biaya produksi tinggi, sementara hasil panennya tidak terserap.
Ironisnya, di tengah stok yang melimpah itu, pemerintah justru menambah impor. Pertanyaannya sederhana: mengapa harus impor ketika gula petani kita masih melimpah dan belum terbeli? Alasan menjaga pasokan dan menstabilkan harga sebenarnya bisa dimengerti, tetapi ketika dilakukan tanpa memperhatikan kondisi petani, maka kebijakan itu justru melukai para produsen lokal. Petani tebu adalah garda depan dalam menjaga kemandirian pangan, tetapi kebijakan yang tidak berpihak membuat mereka merasa tersisih.
Kondisi ini jelas memperlihatkan adanya paradoks kebijakan. Di satu sisi, pemerintah ingin harga terjangkau bagi konsumen, namun di sisi lain petani dirugikan karena harga jatuh dan stok menumpuk. Pasar gula domestik pun makin tidak sehat. Para pedagang enggan membeli gula petani karena khawatir merugi akibat banjirnya gula impor yang lebih murah. Apalagi di tengah beredarnya isu rembesan gula rafinasi di pasar tradisional, posisi gula petani makin terjepit.
Sejatinya, impor bukanlah solusi jangka panjang. Impor hanya boleh digunakan sebagai instrumen darurat ketika pasokan betul-betul tidak mencukupi. Jika dilakukan terus menerus, maka yang terjadi adalah ketergantungan dan hilangnya kedaulatan pangan. Kita tidak ingin sektor gula hanya menjadi “ladang bisnis” impor, sementara petani lokal gulung tikar. Lebih dari itu, kemandirian ekonomi bangsa bisa terancam.
Apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, pemerintah harus memastikan penyerapan gula petani menjadi prioritas. Lelang di pabrik gula perlu dibuat lebih transparan dan berpihak, bukan justru mempersulit petani. Kedua, intervensi harga perlu dilakukan dengan menetapkan Harga Patokan Petani (HPP) yang layak, sehingga petani tidak terus berada di posisi tawar yang lemah. Ketiga, peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi harus benar-benar diawasi, karena jika dibiarkan, hal ini akan semakin mematikan gula produksi rakyat.
Ke depan, pembenahan tata niaga gula harus disertai dengan peningkatan produktivitas. Petani tebu perlu didukung akses teknologi, bibit unggul, pupuk, hingga mekanisasi yang efisien agar biaya produksi menurun. Pemerintah bersama BUMN gula juga harus berani menyiapkan roadmap industrialisasi gula yang modern dan berkelanjutan. Dengan begitu, kita bisa mengurangi ketergantungan pada impor sekaligus menjaga kesejahteraan petani.
Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum refleksi: sampai kapan kita terus mengandalkan impor di tengah limpahan stok lokal? Sampai kapan petani harus menjadi korban kebijakan jangka pendek? Semoga ke depan, kebijakan pergulaan kita lebih berpihak pada rakyat, bukan hanya pada angka-angka makro ekonomi.