Kritik terhadap kebijakan publik, terutama pajak, tidak pernah sederhana. Ambil contoh kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Sekilas, kritik masyarakat tampak hanya soal tarif yang dianggap memberatkan. Namun sesungguhnya, kritik terhadap PBB harus berlapis-lapis karena menyentuh berbagai dimensi sekaligus. Dari sisi ekonomi, kenaikan PBB menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan masyarakat membayar (ability to pay). Dari sisi sosial, muncul persoalan keadilan: apakah beban pajak dibagi secara proporsional sesuai kemampuan? Dari sisi politik, ada isu legitimasi: apakah masyarakat percaya bahwa uang pajak kembali dalam bentuk layanan publik yang nyata? Dan dari sisi kelembagaan, ada pertanyaan transparansi dan akuntabilitas: apakah mekanisme penentuan nilai pajak jelas, adil, dan dapat diawasi?
Karena itulah, kritik tidak bisa berhenti pada satu lapisan saja. Jika hanya mempersoalkan tarif, kita akan kehilangan konteks yang lebih luas. Kritik harus mengurai lapisan demi lapisan, sehingga menyerupai jilid panjang: fiskal, sosial, politik, dan kelembagaan. Kritik berjilid-jilid inilah yang justru menjaga agar kebijakan tidak melenceng dari tujuan dasarnya, yakni kesejahteraan rakyat. Rousseau (1762) pernah menegaskan bahwa negara berdiri di atas kontrak sosial. Pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan simbol kepercayaan rakyat pada pemerintah. Jika kontrak itu dilanggar, kritik wajar muncul. James Buchanan dan Gordon Tullock (1962) bahkan mengingatkan bahwa pemerintah dapat bertindak seperti Leviathan, cenderung memperbesar penerimaan tanpa selalu memperhatikan efisiensi dan kesejahteraan. Karena itu, kritik yang panjang justru menjadi semacam rem, agar kekuasaan tidak melaju terlalu kencang di jalan yang salah.
Selain itu, kritik berjilid-jilid juga lahir dari proses dialektika. Dalam tradisi filsafat, setiap kebijakan adalah tesis—sebuah gagasan awal yang diajukan penguasa. Masyarakat kemudian merespons dengan antitesis berupa kritik, penolakan, atau masukan. Dari pertarungan antara tesis dan antitesis itu lahirlah sintesis—sebuah bentuk kebijakan baru yang lebih matang, adil, dan relevan. Namun sintesis itu tidak berhenti di situ. Ia akan kembali menjadi tesis baru, lalu diuji lagi oleh antitesis berikutnya. Proses inilah yang membuat kritik tidak pernah selesai dalam satu bab, tetapi berlanjut dalam “jilid-jilid” panjang. Dialektika menjadikan kritik bukan sekadar keluhan, melainkan energi untuk pembaruan berkelanjutan.
Di sinilah peran intelektual menjadi penting. Intelektual sejati bukanlah mereka yang sekadar merayakan angka pertumbuhan atau mengulang jargon keberhasilan pemerintah, melainkan mereka yang berani mengurai paradoks dan menyuarakan sisi yang terlupakan. Tugas intelektual adalah menjaga nyala kritik agar tidak padam, merawat dialektika antara kebijakan dan masyarakat, serta mendokumentasikan setiap keberatan publik agar menjadi bagian dari ingatan kolektif. Antonio Gramsci menyebut peran ini sebagai intelektual organik: mereka yang hadir bukan untuk menara gading, tetapi untuk terlibat langsung dalam perdebatan sosial dan memberi suara bagi yang lemah. Tanpa peran intelektual, kritik bisa terjebak dalam emosi sesaat; dengan intelektual, kritik bisa menjelma menjadi analisis yang tajam, sistematis, dan memberi arah perubahan.
Kritik juga berfungsi sebagai dokumentasi sejarah. Setiap catatan kritik menyimpan jejak argumentasi, data, dan pengalaman publik yang kelak bisa menjadi bahan refleksi. Kritik hari ini mungkin terasa repetitif, tetapi di masa depan bisa menjadi pelajaran berharga. Dari sinilah kritik berjilid-jilid menemukan legitimasi moral: ia bukan hanya untuk hari ini, melainkan juga untuk generasi berikutnya.
Lebih jauh lagi, kritik harus dipandang sebagai hak demokratis. Dalam masyarakat yang sehat, warga negara berhak menyampaikan kritik terhadap kebijakan tanpa dicurigai atau dituduh mengganggu stabilitas. Kritik adalah bagian dari partisipasi, sama pentingnya dengan hak memilih dalam pemilu. Demokrasi sejati bukan hanya memberi ruang untuk memilih pemimpin, melainkan juga ruang untuk mengoreksi jalannya kekuasaan setiap saat. Dengan demikian, mengkritik bukanlah bentuk perlawanan semata, tetapi ekspresi hak warga negara yang paling mendasar. Sebagaimana ditegaskan oleh Jürgen Habermas dalam Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (1996), ruang publik demokratis hanya bisa hidup jika kritik dan diskursus bebas dijamin, karena dari proses itulah lahir legitimasi yang sejati atas hukum dan kebijakan.Namun kritik hanya berguna bila diterima secara wajar oleh pemerintah. Pemerintah yang alergi kritik mudah tergoda menganggap suara publik sebagai gangguan. Padahal, kritik adalah mekanisme demokrasi. Menerima kritik dengan lapang dada menunjukkan kedewasaan politik. Kritik bukan ancaman bagi kekuasaan, melainkan vitamin bagi perbaikan. Pemerintah yang memahami logika dialektika akan sadar: tanpa kritik, kebijakan hanya berhenti pada tesis yang mentah, tidak pernah tumbuh menjadi sintesis yang matang.
Ke depan, yang lebih penting adalah bagaimana kritik berjilid-jilid itu diolah menjadi kebijakan yang lebih baik. Kritik seharusnya tidak hanya berhenti sebagai suara protes, tetapi dilembagakan dalam forum publik, riset independen, atau mekanisme evaluasi kebijakan yang partisipatif. Dengan begitu, kritik bisa berubah menjadi bahan baku perumusan kebijakan baru yang lebih adil dan transparan. Kritik tidak hanya menjadi rem bagi kesalahan, tetapi juga mesin untuk menciptakan kebijakan yang lebih inovatif dan sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan “mengapa kritik harus berjilid-jilid?” adalah karena realitas yang kita hadapi sendiri berlapis-lapis. Kritik yang panjang adalah bagian dari dialektika: menggugat tesis kekuasaan, menghadirkan antitesis masyarakat, hingga melahirkan sintesis kebijakan yang lebih adil. Di sinilah peran intelektual menjadi penjaga dialektika itu, sekaligus jembatan antara suara rakyat dan ruang kebijakan. Kritik berjilid-jilid mungkin melelahkan, tetapi tanpanya, kita hanya hidup dalam ilusi prestasi semu. Justru dengan kritik panjang, konsisten, diterima secara wajar, dan diolah menjadi kebijakan baru, kita bisa membongkar lapisan-lapisan persoalan, memperkuat kepercayaan publik, dan membangun ruang demokrasi yang lebih sehat serta pembangunan yang lebih manusiawi.